Sabtu, November 21, 2015

Softskill Cerpen dan Puisi

CERPEN

Jendela Biru

Semua terasa berbeda. Pagi itu penuh sesak, penuh amarah, penuh aura negatif dalam pikiran Aura. Ya pagi itu pagi dimana embun sejuk berubah menjadi sesuatu yang menyesakkan dada. Udara segar yang Aura hirup seakan-akan racun yang perlahan membunuh tubuh mungilnya. Angin yang berhembus mesra membekukan hati dan pikiran sang putri. Sang Putri? Ya Putri adalah panggilan kesayangan Ayahnya. Terinspirasi dari dongeng masa kecil, Aura yang masih polos selalu minta dipanggil Putri oleh kedua orangtuanya.
Benda-benda buatan manusia dengan ukiran-ukiran cantik di dalamnya tergeletak begitu saja di teras rumah baru Aura. Begitu juga dengan lemari-lemari praktis beroda, manusia modern menyebutnya dengan koper. Semua benda mati itu menggigil kedinginan sedingin hati pemiliknya pagi ini. Tak lama kemudian Aura menjinjing benda-benda itu ke dalam ruangan yang terasa begitu asing bahkan sangat asing. Ada benda menarik di antara tumpukan benda-benda usang dalam ruangan itu. Perlahan tapi pasti Aura menggerakkan kakinya selangkah demi selangkah berharap benda itu bisa sedikit membuat bibir manisnya tersungging. Figura itu kini berada di tangan Aura, dengan genggaman jemari lentiknya Aura memandang lekat-lekat gambar yang terperangkap dalam figura itu. Belum sempat bertanya tiba-tiba pak Agus datang dengan barang-barang di tangannya.
“itu foto non Putri waktu masih bayi. Itu Ayah dan Ibu non. Cantik dan ganteng yah non? Mereka terlihat bahagia di foto itu karena kehadiran non Putri.” Tutur pak Agus supir pribadi Aura yang selama ini dengan setia mengantar Aura kemanpun ia pergi. Seperti Ayah dan Ibu Aura, pak Agus pun ikut memanggil Putri ke Aura yang bahkan sebelum Aura lahir pun pak Agus sudah dengan setia membantu apapun yang pak Agus bisa untuk keluarga Zaki. Ya Zaki adalah laki-laki terhebat dalam hidup Aura dia adalah Ayah dari gadis mungil itu. Tidak ada kata yang terucap dari bibir manisnya, Aura menanggapi kalimat pak Agus dengan senyum khasnya.
Masih dalam genggaman tangan mungilnya figura itu terus Aura jinjing ke lantai atas tempat di mana badan Aura dihempaskan dan mata indahnya terpejam istirahat dari perjalanan panjang menuju rumah baru itu. Lalu Aura meletakan figura yang ia jinjing di atas meja samping tempat tidurnya. Jemari indah Aura membuka jendela kamarnya. Terlihat danau dengan air yang sangat jernih dan pepohonan menari-nari lengkap dengan lambaian daunnya di tepi danau. Angin membelai tubuh Aura bersama terbukanya jendela. Dan rumah dengan desain indah di samping kamar Aura juga terlihat begitu jelas.
Terdapat beberapa pintu dan jendela yang begitu indah denga ukiran-ukiran kuno. Aura sedikit menikmati pemandangan indah ini sejenenak beban yang bersarang di pikirannya lenyap. Kemudian Aura duduk di atas kursi denga meja persegi panjang pas di depan jendela sehingga maha karya Tuhan yang begitu dahsyat terlihat jelas dari posisi duduknya. Dan terlihat jendela biru dari rumah berdesain indah itu yang hampir berhadapan dengan jendela Aura. Sesaat kemudian Aura merebahkan badan mungilnya dan terpejam memasuki dimensi lain. Mimpi.
Waktu menunjukkan pukul 19.00 sesaat Aura termenung di atas kursi, memandang lekat-lekat figura itu. Sejenak pikirannya kembali ke masa kecilnya. Masa kecil bersama kedua orangtuanya yang setiap orang melihatnya pasti akan iri. Hingga sampai pada saat dimana Ayah dan Ibu Aura meninggalkan Aura untuk selamanya karena kecelakaan mobil itu. Aura menangis sejadi-jadinya ia tidak punya siapa-siapa lagi di sini. Orang yang sangat ia cintai diambil pemiliknya. Emosi Aura mulai mereda. Masih di tempat yang sama dengan pantulan sinar bulan di atas jernihnya air danau terlihat begitu indah dari kamar Aura. Kemudian Aura melirik ke rumah berdesain indah itu hanya jendela biru yang lampu kamarnya menyala. Berharap ada seseorang yang menenangkan hatinya saat ini.
Aura mulai membuka benda yang sudah menjadi sahabatnya. Di dalam benda itu ada Mr. Maya yang selama ini senantiasa menemani kesendirian Aura. Walau lewat kata-kata tanpa nada Mr. Maya mampu membuat jiwa Aura hidup kembali. Dua tahun terakhir Aura bersama Mr. Maya di dunia Maya. Jemari lentiknya mulai menekan tombol-tombol di laptop itu dan otaknya mulai merangkai kata demi kata.

“Mr. Maya kamu masih di situ? Aku sedikit senang dengan keberadaanku saat ini. Di sini aku bisa merasakan hembusan angin yang begitu bersahabat. Aku bisa melihat riangnya tarian pepohonan. Dan ada yang lebih indah, di sini aku melihat pantulan sinar bulan yang selalu kamu ceritakan. Aku bisa melihatnya dengan jelas di sini.” Tak lama Aura menekan tombol send.
Tidak menunggu lima menit Aura mendapat pesan balasan, “aku masih di sini untuk kamu tuan putri. Pantulan sinar bulan malam ini sebuah pertanda indah bahwa cahaya dalam jiwa tuan putriku sudah kembali. Kembali bersinar seperti pantulan sinar bulan mala mini.”
“kamu sedang melihatnya Mr. Maya?” ujar Aura lewat kata-kata.
“ya aku melihatnya. Melihat dengan jelas. Aku juga melihat sinar yang berbeda dari depan jendelaku. Bertahun-tahun aku melihatnya selalu gelap kini jendela biru itu berpendar indah dengan cahaya kamarnya.” Melihat kata-kata itu Aura sempat kaget. Dia berpikir apa ini sebuah kebetulan? Atau dia salah mengeja kata. Tapi itu benar, dan mata Aura masih bisa melihat tulisan dengan jelas.
“aku juga melihat jendela biru itu. Bercahaya di antara jendela lainnya. Dia terlihat begitu indah.” Balas Aura masih dalam kata-kata.
“hey tunggu apa kamu sedang mencemooh aku? Atau hey apa kamu tuan putri yang sedang melamun di balik jendela biru itu? wajahmu terlihat sayu sama seperti kata-kata yang selalu kamu lontarkan dua tahun mengenal aku. Hey apa itu kamu? Katakan sesuatu tuan putriku.”

          Aura mendapat sinyal positif malam itu.
Tak lama Aura kembali mengadukan jari-jarinya dengan tombol-tombol itu. “iya Mr. Maya aku tuan putrimu yang selalu merindukan sinar rembulan. Aku tuan putrimu yang selalu mengganggu waktu istirahatmu. Aku tuan putrimu yang selalu sendiri.”

Mata mereka tertuju satu sama lain. Terlihat senyum manis Aura mengembang dari bibir tipisnya. Cahaya matanya berpendar indah di balik jendela biru. Di seberang sana terlihat jelas senyuman seorang laki-laki yang usianya tak jauh beda dengan Aura melempar senyuman indahnya menampakkan hidungnya yang mancung juga di balik jendela birunya. Aura tidak percaya akan semua ini. Ketika Tuhan mengambil segalanya dari dia. Tuhan dengan sangat adil menggantikannya dengan yang terindah. Ketika Tuhan seperti memenjarakannya dalam kesendirian. Dengan sangat bijak Tuhan pun membebaskannya dengan seribu tawa. Takdir menuntunnya ke dalam kebahagiaan baru bersama Mr. Maya.
“aku tuan putrimu. Aura,”
“aku Mr. Mayamu. Bagas,”
Pantulan cahaya senja membuka perbincangan pertama mereka. Di tepi danau bersama irama angin dan pohon menemani tawa Aura dan Bagas sore itu. Aura percaya bahwa roda kehidupan itu berputar setelah ia bertahun-tahun tenggelam bersama kesedihannya ia kini bertemu dengan sosok manusia yang sudah membangkitkan jiwa kelamnya. Bagas adalah takdir Tuhan yang telah disediakan untuk menemani hidup Aura.

source: http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/jendela-biru.html


PUISI
Semangat Hati
Bila mentari tak sehangat biasanya
Bukanlah berarti hari ini telah berakhir
Tetaplah berjalan dan genggam dunia
Buktikanlah kalau kita bocah yang takkan terjatuh oleh keadaan

Mungkin dunia tak selalu indah
Tapi cobalah jadikan indah dengan senyuman
Walau hanya sedikit senyuman penglipur lara
Jadikanlah kekuatan tuk hadapi getirnya rasa

Tapakilah langkah demi langkah
Meski hanyalah langkah lemah dan gontai
Karena hidup takkan berputar
Bila kita berdiam dan selalu menangisinya

Inilah hidup yang sesungguhnya
Dia yang lemah akan tergilas roda kehidupan
Menusuk dan menyayat,
bila kita pecundang yang hanya bisa meratap